AHOK TETAP BERJUANG MESKIPUN DIPENJARA.

PERJUANGAN AHOK BELUM SELESAI MESKIPUN DI DALAM PENJARA

JuraganQQ.com,- Aristoteles pernah mengingat­kan para dramawan, agar berhati-hati dalam mengadaptasi sebuah legenda, kisah kepahlawanan para aktor besar sejarah. Dalam tulisannya yang terma­syur, The Poetics, filsuf besar ini secara jelas menetapkan batas-batas demistifi­kasi tragis dengan cara melarang para dra­­mawan agar tidak terlalu radikal dalam mengubah legenda se­hingga kehilangan penghukuman hebat bagi orang yang dihukum.

Sadar akan peringatan Aristoteles, maka pemaknaan terhadap peristiwa Ahok saat ini, tidak boleh berhenti pada kesimpulan yang dianggap bersifat romantisisme. Pemaknaan akan peristiwa besar ini, bukan hendak menghilangkan atau me­la­wan keputusan yang dikenakan kepada tokoh yang feno­menal ini. Hukum harus tetap dihargai, hukum harus tetap berjalan. Itulah sebabnya Ahok tidak memberi perlawanan dengan intimidasi jalanan, tetapi justru taat pada hukum dengan melakukan banding.

Tetapi para pendukung Ahok mendu­kungnya dengan bunga, dengan moral beradab dan bukan melakukan provokasi jalanan. Momen demikian adalah ungka­pan kerinduan bangsa Indonesia akan perdamaian, toleransi. Apa yang dilaku­kan oleh puluhan ribu orang ketika dengan rela berkumpul di Balai Kota Jakarta, menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia yang diko­mandoi musisi kenamaan Adie MS, sehingga Djarot menangis tersedu-sedu, sebaiknya dilihat sebagai sebuah tanda dan pe­nanda bahwa hukuman yang dikenakan bukan mem­buat Ahok menjadi selesai.

Air mata yang menetes di pipi Djarot dan banyak orang ada­lah panggilan jiwa dan bentuk pengakuan masyarakat ter­hadap personal karakter kepemimpinan Ahok Djarot yang menggerakkan politik menuju harapan eskatologis reformasi. Ahok yang berkomitmen kuat untuk meyakinkan sejarah per­adaban dapat dibentuk oleh budaya demokrasi, mampu mela­wan preman politik, preman jalanan berjubah agama.

Kehadiran banyak orang di Balai Kota adalah sebuah ung­kapan panggilan batin yang bersyukur terhadap upaya-upaya transformatif Ahok Djarot. Kehadiran itu adalah sebuah tanda bahwa Ahok tidak akan selesai. Kehadiran itu momentum ke­bangkitan untuk melawan pesimisme tafsir terhadap perjuang­an sang minoritas ganda dalam konteks demokrasi di Indo­nesia.

Kehadiran itu justru membalut luka atas sebuah keyakinan bahwa Ahok ha­nyalah korban, dari ritual kekerasan batin yang digelorakan oleh pemikiran-pemi­kiran sektarian berbendera konser­vatisme agama. Roh sektarian ini melayang-layang, me­rasuki pikiran dan komunitas manusia melalui media televisi, sosial media, dan hinggap merasuki banyak orang atas nama kesucian dogmatisme.

Roh sektarian menjadi kekuatan besar bahkan menjadi alat legitimasi atas tindak kekerasan bersorban agama. Roh demi­kian justru mendorong kesadaran negatif bahwa suatu tindakan yang salah apabila dipersepsi, diopini sebagai sebuah tugas mendasar akhirnya akan dianggap bukan sebagai sebuah kejahatan bahkan diang­gap sebagai tindakan suci.

Akhirnya, Ahok adalah korban dari perubahan opini publik yang besar dan cepat, dipersalahkan oleh suara mayo­ritas. Mungkin anggapan terhadap paham demokrasi menjadi pe­micu utamanya. Sebab, seseorang yang dituduh bersalah oleh suara mayoritas hampir tidak mung­kin dianggap tidak berdosa. Jika tidak, maka hal itu dianggap melawan suara rakyat sebagai suara Tuhan.

Bagaimanapun juga, kasus tokoh minoritas ganda ini hadir dan dihadirkan dalam konteks untuk menyatakan bahwa dia bersalah atau sebaliknya hadir dan dihadirkan dalam konteks untuk menya­takan dia adalah pelaku kebenaran.

Keduanya janganlah dipahami secara terpisah sehingga me­numpulkan esensi perjuangan oleh masing-masing pihak yang membenci atau yang mengidola­kannya. Sebab, banyak orang akan mera­sa menjadi orang benar jika berada pada barisan orang benar dan akan dipersa­lahkan jika berada pada barisan mayoritas salah.

Dalam kasus Ahok yang mengundang simpati dari ribuan bahkan dunia interna­sional melalui dewan HAM PPB di Asia, harus dilihat sebagai sebuah perjuangan moral demi kebaikan hidup bangsa yang majemuk.

Realitas demikian adalah bangunan peradaban yang lahir dari sebuah kesa­daran bahwa penderitaan yang tidak pada tempatnya dan dijadikannya Ahok seba­gai korban akan me­nyumbangkan sesua­tu pada kelakuan baik dari para peng­ikutnya dan hal itu menjadi suatu prinsip perbaikan moral.

Itulah sebabnya di banyak tempat, banyak pihak menyala­kan lilin perda­maian, memberi bunga tanda simpati yang sangat besar atas kasus Basuki Tjahaya Purnama. Simpati besar demi­kian, bukan hendak mendemistifikasi tragisme Ahok tetapi justru menjadi sebuah tanda bahwa Ahok belum selesai.